Memanipulasi Otak dengan Strategi Sosial Media

Beberapa bulan terakhir ini, Karen’s Dinner begitu populer di social media. Saat pertama kali melihat konten Karen’s Diner, Anda mungkin berpikir, “Apaan sih kok gini banget?”. Ekstrimnya, banyak netizen yang dari awal sudah meng-cancel kehadiran Karen’s Dinner karena dinilai perilakunya yang berlebihan.

Di lain hal, baru akhir-akhir ini muncul beberapa pengamat yang berpikir, “apa memang begini ya strateginya?” Karena sejak Karen’s Diner jadi perhatian, banyak KOL/influencer yang kemudian diundang “magang” ke tempat tersebut.

Sangat wajar apabila ada yang berpikir, “Apa ini semua strategi marketing ya?” Karena cara yang seperti ini (memancing emosi) sangat ampuh untuk menarik perhatian netizen Indonesia. Ditambah lagi dengan hadirnya KOL/influencer disertai dengan fenomena FOMO, awareness Karen’s Dinner pun jadi double.

Fenomena ini sebenarnya menunjukkan bahwa otak kita cenderung lebih cepat “ngeh” dan mengingat suatu hal dengan emotional flavour yang baik. Dalam satu contoh kasus tadi, emosi kita di-trigger karena perilaku pelayan Karen’s Dinner.

Selain itu, kita juga dibuat agak kesal karena perilaku yang mereka tunjukkan lebih mirip tindakan bullying daripada karakter cuek seperti halnya Karen’s Dinner di luar negeri. Kalau memang ini merupakan strateginya, artinya strategi ini cukup cerdik.

Ignatius Untung dalam bukunya berjudul Brain & Brand mengatakan bahwa semakin suatu hal dapat memicu emosi kita baik itu rasa bahagia, marah, takut, jijik, maka semakin mudah kita mengingat informasinya.

Hal ini karena mekanisme otak yang melabeli sesuatu dengan emotional flavour. Kalau dalam konteks ini, flavour-nya adalah rasa marah dan (mungkin) juga rasak jijik atau cringe.

Tapi kenapa strategi seperti ini harus dilakukan?

Yang pertama, jelas karena emosi manusia mudah ditrigger dengan hal negatif, sehingga brand akan lebih mudah mendapat perhatian.

Yang kedua, tujuannya adalah meningkatkan memory recall power, yang bertujuan agar mudah diingat dan diasosiasikan.

Informasi-informasi yang tidak 100% baru atau informasi baru yang tercampur dengan informasi lama akan lebih mudah diingat oleh otak. Contoh kasusnya adalah Karen’s Dinner yang telah disebutkan, “Wah ini keterlaluan sih marah-marah kayak di Ospek”.

Nah ini menimbulkan memori baru bahwa pelayanan restoran yang tidak seperti biasanya, yaitu marah-marah dan juga kontribusi memori lama yaitu dimarahi saat ospek sekolah dulu.

Poin utama bahasan ini sebenarnya bukanlah pada marah-marah. Namun, yang perlu dicatat adalah emotional flavour. Tidak harus emosi marah, tapi Anda bisa memanfaatkan emosi senang, sedih, haru, dan lainnya.

Intinya adalah, dalam strategi sosial media, Anda bisa coba untuk sedikit “memanipulasi otak” dengan menambahkan emotional flavour pada konten.

Subscribe To Our Newsletter

Get updates and learn from the best

Share This Post

More To Explore